Sabtu, 04 Juni 2011

Ihsan

Oleh: Tim dakwatuna.com

Kirim Print
dakwatuna.com – Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)

Pengertian Ihsan

Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)

“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.

Landasan Syar’i Ihsan

Pertama, Al-Qur`anul Karim

Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.

“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)

“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)

“Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS. An-Nisaa`: 36)

Kedua, As-Sunnah

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)

Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1. Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.

Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama, Tingkat Takwa

Tingkat takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan masing-masing.

Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sanksi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah swt.

Kedua, Tingkat al-Bir

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.

Akantetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.

Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak terhindar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya, “Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (QS. l-Baqarah: 189)

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan

Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya– maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.

Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah swt.

2. Muamalah

Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua

Allah swt. menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.

Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmudzi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin

Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”

Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin— yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim; sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.

Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya firman-Nya yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah swt.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.

Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya. Kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah berkata, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai Umar tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku.”

3. Akhlak

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya– maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab. []


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/ihsan/

Menyiapkan Jiwa



Oleh: Cahyadi Takariawan*
...
Allahumma bariklana fi Rajaba wa Sya’bana, wa ballighna Ramadhan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada Ramadhan.

Esensi doa ini adalah untuk menyiapkan jiwa menyambut Ramadhan. Berharap memasuki bulan Rajab dan Sya’ban dengan penuh berkah. Berharap dua bulan lagi bisa memasuki Ramadhan dengan kondisi kesehatan, kekuatan, dan kebaikan yang prima.

Jiwa manusia sering berada dalam kehampaan dan ketidaksiapan. Sibuk dengan berbagai urusan dunia, sibuk dengan kerja, sibuk dengan politik, sibuk dengan bisnis, sibuk dengan mengejar target pekerjaan, sibuk berkarier, sibuk memikirkan kenaikan pangkat, sibuk mengusahakan kebaikan posisi dan gaji.

Namun tidak sibuk mengingat Allah, tidak sibuk berdzikir, tidak sibuk taubat, tidak sibuk wirid, tidak sibuk shalawat, tidak sibuk tilawah, tidak sibuk qiyamul lail, tidak sibuk ibadah sunah, tidak sibuk istighfar, tidak sibuk bertasbih, tidak sibuk bertahmid, tidak sibuk bertakbir.

Betapa lalai dan lemah jiwa kita…. Tiba-tiba Ramadhan sudah tiba. Tak ada kesiapan jiwa memasukinya.

Tidak semua manusia bisa bertemu Ramadhan dengan sepenuh kehadiran jiwa. Kendati tinggal dua bulan lagi. Sekarang kita memasuki bulan Rajab, bulan berikutnya adalah Sya’ban. Setelah itu datanglah bulan teramat istimewa, Ramadhan.

Di antara manusia ada yang telah dipanggil menghadap Allah sebelum sempat menikmati Ramadhan berikutnya. Bahkan ada yang meninggal sehari sebelum masuk bulan Ramadhan. Kita tidak tahu apakah akan bisa menjumpai Ramadhan tahun ini. Untuk itulah kita berdoa, memohon agar bisa menjumpai Ramadhan lagi dengan sepenuh cinta.

Namun untuk apa kita perlu bertemu Ramadhan ? Untuk mendapatkan berbagai keistimewaannya. Agar bisa menemukan segala rahasia keindahan Ramadhan yang Ia berikan kepada kita. Sepenuh jiwa kita berharap limpahan rahmat, berkah, ampunan, kehidupan yang taqwa, akhir hidup yang mulia, akhirat yang bahagia.

Dua bulan menjelang Ramadhan, berharap bisa kita lalui sepenuh keberkahan dariNya. Jika dua bulan ini mampu kita isi dengan aktivitas yang penuh berkah, insyaallah kita akan bisa sampai Ramadhan dengan kesiapan jiwa untuk menikmatinya. Bisa berenang pada samudera kerahmatan Ramadhan yang teramat luas tanpa batas.

Berkahi kami di Rajab ini ya Allah…

Berkahi kami pada Sya’ban esok ya Allah…

Hingga kami sampai ke Ramadhan dengan sepenuh ketulusan dan kesiapan jiwa….

Aamiin…

nDalem Mertosanan, Yogyakarta 3 Juni 2011

Manajemen Islami Keuangan dan Harta Keluarga (Bagian ke-1)

Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo

Kirim Print
Uangdakwatuna.com – Firman Allah: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cakap (dalam mengelola harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…” (QS. An-Nisa [4]:6)
Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh Sunnah Nabi merupakan sumber hukum utama dan jalan hidup umat Islam dalam segala urusan termasuk bidang keuangan dan ekonomi. Ayat di atas merefleksikan pesan halus bahwa merupakan suatu kewajiban agama dan kebutuhan dasar setiap individu muslim untuk mengetahui prinsip-prinsip ekonomi dan manajemen keuangan islami minimal dalam skala individu dan keluarga agar memperoleh kebahagiaan di dunia dengan menjadi pribadi yang shalih dan mendapatkan keselamatan di akhirat. Hal itu karena harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang serta kewenangan untuk menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle) disebut Fit and Proper sebagaimana prinsip Islam mengajarkan bahwa “Sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah dan profesional).”

Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, memproduksi barang maupun jasa untuk mencari rezki Allah secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki dan perempuan. (QS. An-Nisa’:32, Al-A’raf:157). Bila kita tahu bahwa kaum wanita diberikan oleh Allah hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka sudah semestinya mereka juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki. Rasulullah memuji seseorang yang mengkonsumsi hasil usahanya sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan tabungan sebagai persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta secara ekonomis, efisien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan menabung untuk masa depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip ini sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima (mabrur) karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.” (HR. Muslim). Kesadaran akuntabilitas (ma’uliyah) dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul karena keyakinan adanya kepastian audit dan pengawasan dari Allah SWT seperti sabda Nabi saw: “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat kebangkitannya di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di antaranya tentang hartanya; dari mana dia memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HR. Tirmidzi)

Memang secara prinsip fitrah, kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung jawab suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset keluarga. Allah SWT berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34). Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim.

Oleh karena itu Nabi secara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari) Ketika Rasulullah saw menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali RA beliau berwasiat kepada menantunya: “Engkau berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga. Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri. Bukankah Khadijah RA. ikut andil dalam membantu mencukupi kebutuhan keluarga Nabi saw. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan. (QS.Al-Maidah:2)

Prinsip keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari karunia Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada Allah secara khusyu’. Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan bahwa tugas utama dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola keuangan keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk berusaha mencari rezki. Sejarah Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian.

Manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’ sehingga memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad) Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).

Seorang wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika hendak mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas api neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya untuk menjaga amanah Allah dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir maupun haram. Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan:67)

Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk ngoyo dalam pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah, diri maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan keluarga. Rasul bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat banyak atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling membantu antara suami istri dalam memperbesar pendapatan keluarga dan melakukan efisiensi dan penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari pada pasak. Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam manajemen keuangan keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi keluarga termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki Allah. Islam senantiasa memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat berjalan lancar yang merupakan makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain. Firman Allah Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6) mengisyaratkan bahwa kita wajib mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola dan mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk bekerja, meringankan beban dan membantu orang tua. []

– bersambung…


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/manajemen-islami-keuangan-dan-harta-keluarga-bagian-ke-1/

Makna Keluarga Sakinah

By: M. Agus Syafii

Makna keluarga sakinah adalah keluarga yang bahagia. Keluarga sakinah satu ungkapan untuk menyebut sebuah keluarga yang fungsional dalam mengantar orang pada cita-cita dan tujuan  membangun keluarga. Dalam bahasa Arab disebut dengan usrah sa`idah, keluarga bahagia. Penggunaan nama sakinah pasti diambil dari al Quran surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Allah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain.  Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan.  Pengertian ini pula  yang dipakai dalam ayat-ayat al Quran dan hadis  dalam kontek kehidupan manusia. Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak, tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu. Ada empat hal memahami makna keluarga sakinah diantaranya adalah.

Pertama, bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah Rasul bagi yang sudah mampu. Dalam kehidupan berumah tangga terkandung banyak sekali keutamaan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/isteri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali padahal ekonomi belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib). Nabi bersabda:

'Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu). (H.R. Bukhari Muslim)

Kedua, Bahwa tingkatan ekonomi keluarga itu berhubungan dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (manajemen) dan berkah dari Allah. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah sampai  ke jenjang tinggi, sementara ada keluarga yang serba berkecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkumpulnya kebaikan ilahiyyah pada seseorang/keluarga/masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam. Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Allah secara optimal. Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan. Firman Allah.

'Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami akan sisksa mereka disebabkan  oleh perbuatan mereka./(Surat al A'raf, 96)

Ketiga, Suami isteri itu bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya harus ada  kesesuaian ukuran, keseuaian mode, asesoris dan pemeliharaan kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing  suami dan isteri harus bisa menjalankan fungsinya sebagai (a) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya kehidupan, dan (c) kebanggan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diperkecil, dilonggarkan, ditambah  asesoris dan sebagainya. Mengatasi perbedaan selera, kecenderungan dan hidup antara suami isteri, diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya , Apa yang dapat saya berikan, bukan apa yang saya mau.

'Mereka (isteri-isterimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat)  pakaian mereka. (Surat al Baqarah 187).

'Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap isteri. (H.R. Turmuzi dari Aisyah).

Keempat, Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, anugerah Allah dan sering tidak rasional. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, kesetiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan mendatangkan/menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta. Hukama berkata, 'Tanda-tanda cinta sejati ialah  (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia dibanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan   dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri).

'Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia, dan tidak sanggup  menghinakan  wanita kecuali lelaki yang tercela.'

Jumat, 03 Juni 2011

8 Kunci Sukses Andrie Wongso


1) KEYAKINAN DIRIKeyakinan diri adalah kekuatan pendobrak yang luar biasa! Dengan keyakinan diri yang kuat, kita bisa menciptakan prestasi; apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

2) BERANI
Memang di kehidupan ini tidak ada yang pasti. Tetapi, kita harus BERANI memastikan dan memperjuangkan segala hal yang pantas kita raih!

* Berani menentukan target.
* Berani mulai melangkah.
* Berani memperjuangkan sampai sukses!

3) DISIPLIN
Jika Anda ingin sukses, tegakkanlah DISIPLIN DIRI dengan tegas! Kalau Anda tunduk oleh perasaan malas, manja dan bosan, maka pasti nasib Anda pun tidak akan berubah!

4) KOMITMEN
Bagi orang yang memiliki KOMITMEN dan integritas tinggi, mereka tidak pernah merasa takut, ragu atau bimbang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.

5) ULET
Ulet bukan sekedar sabar, pasif, apatis, pasrah dan bertahan..!! ULET adalah tekad yang mengandung sikap antusias, gigih, tegar, proaktif, dan pantang Menyerah..!!!

6) SABAR
Jika ingin sukses, SABAR harus kita miliki. SABAR menghadapi orang yang memusuhi dan meremehkan kita, SABAR menghadapi setiap halangan dan tetap berjuang hingga sukses.
Kesulitan ~ Halangan ~ Tekanan ~ Kegagalan adalah SUPLEMEN FOOD (vitamin) bagi orang-orang SUKSES.

7) TEGAR
Seganas apapun badai di kehidupan ini, dia tidak akan pernah menghancurkan insan yang memiliki KETEGARAN, keyakinan, dan niat baik. Kehidupan memang penuh variasi; kadang diuntungkan, kadang dirugikan, kadang sukses, kadang gagal, kadang dipuji, kadang dihina. Semua membutuhkan: ULET, SABAR, TEGAR.

8) SYUKUR
JIka setiap bangun pagi kita bisa MENSYUKURI dengan tulus apa yang telah kita miliki hari Ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia =)

Baca, resapi 8 KUNCI SUKSES ini sebelum memulai aktivitas sehari-hari, dan praktikkan! Maka KESUKSESAN akan dapat kita raih. Bagikan juga kepada orang-orang terkasih. Saya percaya, kita akan mendapat "lebih" dari apa yang bisa kita "beri"..